Penyidik Polri Tolak Petunjuk Jaksa di Kasus Pagar Laut, Pakar: Citra Institusi Bisa Meredup

RUMAHJURNALIS.COM - Sikap penyidik Polri yang menolak petunjuk dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam perkara proyek Pagar Laut dinilai mencoreng sistem peradilan pidana terpadu. Pakar Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS), Dr. Muhammad Rustamaji, menyatakan bahwa tindakan ini bisa merusak citra kepolisian di mata publik.
Dalam diskusi daring Jarcomm Nusantara Series IV, Jumat (2/5/2025), Rustamaji mengingatkan bahwa dalam KUHAP, posisi penyidik dan penuntut umum adalah satu kesatuan dalam sistem hukum acara pidana.
"Jaksa yang punya tanggung jawab di pengadilan, bukan penyidik. Maka petunjuk jaksa wajib diperhatikan," katanya.
Dalam kasus Pagar Laut, penyidik Bareskrim ngotot memakai Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen. Sementara Kejaksaan Agung menyarankan penggunaan UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) karena indikasi kuat adanya praktik korupsi sistematis.
Pakar hukum yang juga Dekan FH UNS itu menyebut ada kejanggalan dalam penguasaan 260 SHM oleh 20 perusahaan besar di lahan sepanjang 30,6 km.
“Kalau Kejaksaan menyebut ini korupsi, masuk akal. Jangan disepelekan dengan pasal pemalsuan semata,” kata Rustamaji.
Ia menegaskan, jika penyidik Polri menolak memasukkan unsur korupsi, maka masyarakat patut curiga ada yang ditutupi. Apalagi kasus ini juga dilaporkan ke Kejagung dan KPK. Rustamaji juga mendorong Polri menggunakan Pasal 55 KUHP agar bisa menelusuri aktor lain di balik Kades Kohod.
Hal senada disampaikan Badrus Zaman dari Peradi Jawa Tengah. Menurutnya, petunjuk Kejaksaan semestinya menjadi pintu untuk mengembangkan penyidikan secara menyeluruh.
“Kasus besar begini, tidak mungkin hanya satu orang pelakunya. Polisi harus koordinatif, bukan defensif,” ujar Badrus. (Nana Riyadi)