Hari Tani Nasional 24 September, Bagaimana Awal Mulanya?

BANYAK "PR" : Seorang petani tengah berbincang dengan Presiden Jokowi dan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman di lahan pertanian modern Distrik Kurik, Merauke.(FOTO: psp.pertanian.go.id)

RUMAHJURNALIS.COM - Hari Tani Nasional, yang diperingati setiap tanggal 24 September, memiliki sejarah panjang yang erat kaitannya dengan perjuangan rakyat Indonesia dalam menuntut keadilan atas kepemilikan lahan. 

Perayaan ini bukan hanya sebatas mengenang reformasi agraria yang terjadi pada tahun 1960, tetapi juga sebagai momentum untuk merefleksikan kondisi petani dan mendorong penyelesaian masalah agraria di Indonesia.

 Sejarah Hari Tani Nasional

Sebagaimana dilansir Antara, pada masa kolonial, sistem pertanian dan kepemilikan tanah di Indonesia sangat tidak adil. Sebagian besar lahan pertanian dikuasai oleh perusahaan asing dan tuan tanah, sementara petani kecil hidup dalam kemiskinan tanpa kepastian hak atas lahan yang mereka garap. 

Kondisi ini menciptakan ketimpangan yang mendalam dalam masyarakat.

Pasca kemerdekaan, pemerintah Indonesia berusaha memperbaiki kondisi tersebut dengan melakukan reformasi agraria. Salah satu tonggak penting dalam upaya ini adalah pengesahan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada 24 September 1960, yang kemudian dijadikan sebagai Hari Tani Nasional. 

UUPA dirancang untuk mendistribusikan lahan secara lebih adil, melindungi hak petani, serta menghapus praktik feodal yang merugikan petani kecil.

Proses Panjang Pembentukan UUPA

Pembentukan UUPA melalui proses panjang yang memakan waktu 12 tahun. 

Sejak tahun 1948, beberapa panitia dibentuk untuk merumuskan kebijakan agraria yang lebih adil. Panitia-panitia ini termasuk Panitia Agraria Yogyakarta (1948), Panitia Agraria Jakarta (1951), Panitia Soewahjo (1955), Panitia Negara Urusan Agraria (1956), dan Rancangan Soenarjo (1958). 

Pada akhirnya, Rancangan Sadjarwo tahun 1960 diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR), yang dipimpin oleh Haji Zainul Arifin, hingga melahirkan UUPA.

Lahirnya UUPA memiliki makna penting dalam sejarah Indonesia. UU ini didasarkan pada amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa "Bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat." 

Selain itu, UUPA menggantikan hukum agraria kolonial yang tidak adil dengan hukum agraria nasional yang lebih sesuai dengan realitas kehidupan masyarakat Indonesia.

Tantangan UUPA

Meskipun UUPA dianggap sebagai kemajuan besar dalam reformasi agraria, pelaksanaannya di lapangan menemui banyak tantangan. Masalah konflik agraria, ketimpangan distribusi lahan, dan alih fungsi lahan terus menjadi isu yang dihadapi oleh para petani dan pemerintah hingga saat ini. 

Ketimpangan dalam penguasaan lahan masih tampak jelas, terutama di daerah-daerah pedesaan di mana banyak petani masih belum memiliki akses yang adil terhadap tanah.

Di era Orde Baru, beberapa perubahan signifikan terjadi di sektor pertanian. Pada tahun 1974, dibentuk Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Badan Litbang Pertanian) untuk mendukung petani kecil di luar Jawa dan Bali. 

Langkah ini diikuti oleh pembentukan Departemen Koperasi pada tahun 1980, yang bertujuan membantu petani dalam memperluas skala usaha pertanian. 

Reformasi agraria juga mengalami perkembangan dengan dibentuknya Balai dan Loka Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP dan LPTP) di seluruh provinsi pada tahun 1993.

Hari Tani Nasional Sebagai Energi Reformasi Agraria

Setiap tahun, organisasi tani, aktivis agraria, dan masyarakat sipil mengadakan aksi serta diskusi untuk menyoroti kondisi petani dan mendorong penyelesaian masalah agraria yang masih belum tuntas. Masih banyak PR (pekerjaan rumah) yang harus diselesaikan.

Di tengah tantangan global, peran petani dalam ketahanan pangan dan pembangunan ekonomi semakin krusial. Ketergantungan terhadap sumber daya agraria yang berkelanjutan semakin penting untuk diperhatikan. 

Hari Tani Nasional menjadi momen refleksi untuk memperkuat upaya dalam menjaga kesejahteraan petani serta kelestarian sumber daya agraria, demi mewujudkan masyarakat Indonesia yang lebih adil dan makmur.

Hari Tani Nasional juga menjadi pengingat bahwa perjuangan agraria belum berakhir, dan masih banyak yang harus dilakukan untuk memastikan bahwa petani Indonesia mendapatkan hak-haknya secara adil.(Yudhi Hartomo)